PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DI TENGAH WABAH

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DI TENGAH WABAH

Force majeure dapat dijadikan dasar oleh sebuah perusahaan untuk mengadakan PHK. Menurut Pasal 164 ayat 1 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 UU Ketenagakerjaan;

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat(2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Sebagaimana yang telah kami jelas diatas, bahwa kondisi pandemic corona dapat disebut kondisi force majeure. Sedangkan mengenai PHK karena force majeure, UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 (4).

Pada dasarnya PHK adalah hal yang harus dihindari oleh perusahaan, namun apabila kondisi perusahaan dalam keadaan yang sangat berat untuk melanjutkan usahanya dikarena situasi pandemic corona, maka menurut undang-undang diperbolehkan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja.

Perusahaan hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana ketentuan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan. Apabila tidak mendapatkan penetapan dari Pengadilan Hubungan Industrial maka menurut kami pemutusan hubungan kerja, batal demi hukum sebagaimana ketentuan Pasal 155 ayat 1 UU Ketenagakerjaan. [ ]